UPTD KAB BANDUNG KERJASAMA DENGAN DESA JUARA

  Risalahjalanan Media | 

Memasuki penghujung tahun 2024 Desa Dayeuhkolot melaksanakan pelatihan di Tempat Baledesa. 

Pelatihan ini dinamakan Las Treatment Incomporatif , pada tanggal 22 Juli Desa Dayeuhkolot bekerja sama dengan UPTD Pelatihan Kerja dibawah naungan DISNAKER KAB BANDUNG .

 "Sudah satu minggu lebih kegiatan ini dilaksanakan. Sementara teori itu diberikan enam hari, tidak langsung pada praktek."

 : Andra Praktikum Kegiatan

Ahmad  Razi sebagai pelatih bertempat tinggal dari Sarijadi. Sudah memulai sebagai Instruktur pada tahun 2017, balai latihan kerja. Fokus di DISNAKER dengan SK pelatih atau instruktur.

'Keberulan peserta sekarang ada dari tiga kecamatan Citeureup, Dayeuhkolot, Cangkuang." Untuk 3 hari materi pengenalan, dan sisanya 1 bulan praktek secara keseluruhan. :  Saut Ahmad

Selain kegiatan nonformal hal ini menjadi  softskill tambahan anak-anak muda. Baik jenjang SMA atau se-Derajat serta ajang Silaturahmi SMK yang menjadi peserta.

Ahmad menjelaskan inti dari kegiatan ini untuk menambah pengetahuan, meskipun untuk kedisiplinan, bersyukur ia bisa membuka usaha (kepada peserta). "Ketimbang dijalanan kan lumayan kegiatan positif. Berbeda halnya anak anak kuliah punya kegiatan, mudah-mudahan untuk SD yang mengikuti program se-Derajat juga dapat kegiatan tambahan" Perkataannya.

Share:

Kajagal Poenya Carita | Saron sebagai media bambu kedua

  


Saron adalah salah satu instrumen gamelan yang terbuat dari logam (biasanya perunggu atau besi) dan merupakan bagian dari orkestra gamelan Jawa. Namun, jika yang dimaksud adalah alat musik dari bambu yang serupa dengan saron dalam konteks material dan fungsi, maka kemungkinan besar itu mengacu pada alat musik tradisional yang mirip, tetapi berbahan dasar bambu. Berikut adalah sejarah saron yang terbuat dari bambu:


 Sejarah Saron dari Bambu


Asal Usul

   - Saron bambu dikembangkan sebagai alternatif dari saron logam, khususnya dalam konteks di mana bahan logam sulit didapatkan atau terlalu mahal. Alat musik ini biasanya ditemukan di daerah pedesaan Jawa di mana bambu lebih mudah diakses.


Fungsi dan Peran dalam Budaya

   - Saron bambu digunakan dalam berbagai pertunjukan musik tradisional, baik untuk hiburan maupun upacara adat. Alat musik ini sering dimainkan dalam ansambel yang lebih kecil, berbeda dengan gamelan yang lebih besar dan kompleks.

   - Saron bambu memiliki peran yang mirip dengan saron logam dalam gamelan, yaitu memainkan melodi dasar dalam komposisi musik.


Teknik dan Gaya Bermain

   - Teknik bermain saron bambu serupa dengan saron logam, di mana pemain memukul bilah-bilah bambu dengan palu khusus untuk menghasilkan nada.

   - Gaya permainan bisa bervariasi tergantung pada konteks dan genre musik yang dimainkan, tetapi umumnya melibatkan pola-pola ritmis yang mendukung melodi utama.


 Perkembangan Saron Bambu


Modernisasi dan Adaptasi

   - Dengan semakin berkembangnya teknologi dan material, saron bambu telah beradaptasi dan berevolusi dalam berbagai bentuk. Beberapa musisi modern mencoba menggabungkan elemen-elemen tradisional dengan instrumen kontemporer, menciptakan suara yang unik dan inovatif.

   - Selain itu, saron bambu juga sering digunakan dalam pendidikan musik tradisional sebagai alat pengenalan gamelan kepada anak-anak karena lebih ringan dan mudah dimainkan.


Pelestarian

   - Pelestarian saron bambu dilakukan oleh berbagai komunitas seni dan budaya, yang berusaha menjaga tradisi ini tetap hidup melalui festival, lokakarya, dan program pendidikan.

   - Pemerintah daerah dan pusat kebudayaan juga mendukung pelestarian alat musik ini dengan menyediakan platform bagi seniman lokal untuk tampil dan mengajarkan keterampilan mereka.

Kesimpulan

Saron bambu merupakan bagian penting dari kekayaan budaya musik Indonesia, khususnya dalam konteks gamelan dan musik tradisional Jawa. Meskipun bahan dan konstruksinya berbeda dari saron logam, fungsinya dalam ansambel musik tetap signifikan. Usaha pelestarian dan adaptasi alat musik ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga tradisi musik tetap relevan dan dihargai di tengah perkembangan zaman.

Share:

Kajagal Poenya Carita | Sejarah Toleat Instrumen Tradisi

  


Toleat adalah alat musik tradisional Sunda yang berasal dari Jawa Barat, Indonesia. Alat musik ini terbuat dari bambu dan memiliki bentuk menyerupai suling, namun dengan karakteristik suara dan teknik bermain yang unik.

 Sejarah Toleat

Asal Usul

   - Toleat berasal dari daerah Majalengka, Jawa Barat. Alat musik ini dikembangkan oleh masyarakat Sunda dan telah menjadi bagian integral dari budaya musik mereka.

   

Fungsi dan Peran dalam Budaya

   - Toleat digunakan dalam berbagai upacara adat dan pertunjukan musik tradisional Sunda. Alat musik ini sering kali dimainkan bersama dengan alat musik Sunda lainnya seperti kecapi, suling, dan gamelan.

   - Dalam konteks pertanian, toleat sering dimainkan oleh para petani di sawah sebagai hiburan sambil bekerja atau untuk mengiringi waktu istirahat.


Teknik dan Gaya Bermain

   - Teknik bermain toleat melibatkan penggunaan pernapasan sirkular, di mana pemain terus-menerus mengeluarkan udara sambil menarik napas melalui hidung, memungkinkan aliran udara yang konstan dan suara yang tidak terputus.

   - Gaya permainan toleat memiliki nuansa yang melankolis dan kontemplatif, sering kali digunakan untuk menggambarkan suasana hati yang tenang dan damai.


Perkembangan Toleat

- Modernisasi dan Adaptasi

  - Di era modern, toleat telah beradaptasi dengan berbagai genre musik dan sering kali dipadukan dengan instrumen modern. Alat musik ini juga muncul dalam berbagai kolaborasi musik kontemporer dan pertunjukan internasional, membawa suara khas Sunda ke panggung global.

  

-Pelestarian

  - Usaha untuk melestarikan toleat terus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk seniman lokal, pemerintah daerah, dan komunitas budaya. Pendidikan musik tradisional di sekolah-sekolah dan pusat kebudayaan juga memainkan peran penting dalam menjaga agar tradisi toleat tetap hidup.


Kesimpulan

Toleat adalah simbol kekayaan budaya musik Sunda dan warisan yang harus dilestarikan. Dengan suara khasnya yang unik, alat musik ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai penghubung antara generasi dan pengingat akan tradisi yang kaya dari masyarakat Sunda.

Share:

Kajagal Poenya Carita | Celempung Dalam Sejarah Sunda

  


Celempung adalah salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Alat musik ini terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipetik. Celempung memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan budaya dan kesenian Sunda.

Asal Usul dan Perkembangan

Asal Usul

   - Celempung diperkirakan sudah ada sejak zaman kuno, digunakan dalam berbagai upacara adat dan pertunjukan kesenian tradisional di daerah Sunda.

   - Nama "celempung" berasal dari bunyi yang dihasilkan alat musik ini ketika dipetik.


Fungsi dan Peran

   - Celempung sering digunakan dalam upacara adat, seperti upacara penyambutan tamu penting dan ritual keagamaan.

   - Dalam pertunjukan kesenian, celempung biasanya menjadi bagian dari orkestra gamelan Sunda atau digunakan sebagai alat musik solo dalam pertunjukan tari atau wayang golek.


Perkembangan

   - Seiring berjalannya waktu, celempung mengalami beberapa perubahan dalam hal bentuk dan teknik pembuatan, namun prinsip dasarnya tetap sama.

   - Beberapa variasi celempung telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan musik modern dan upaya pelestarian budaya.


Pengaruh dan Penyebaran

   - Celempung tidak hanya dikenal di Jawa Barat, tetapi juga tersebar ke berbagai daerah di Indonesia seiring dengan penyebaran budaya Sunda.

   - Alat musik ini juga mendapatkan perhatian di tingkat internasional sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia yang kaya.


Struktur dan Cara Memainkan

-Struktur

  - Celempung terbuat dari batang bambu yang dibelah sebagian, dengan senar yang terbuat dari serat bambu atau kawat logam.

  - Terdapat resonator di bagian bawah untuk memperkuat bunyi yang dihasilkan.


Cara Memainkan

  - Celempung dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari-jari tangan.

  - Pemain biasanya duduk bersila dengan celempung diletakkan di pangkuan atau di atas meja.


Peran dalam Kebudayaan Kontemporer

- Celempung tetap menjadi bagian penting dari kesenian Sunda dan sering dimainkan dalam acara budaya, festival, dan konser.

- Ada upaya dari berbagai komunitas dan pemerintah daerah untuk melestarikan celempung melalui pendidikan musik tradisional dan promosi di acara-acara internasional.


Celempung adalah cerminan kekayaan budaya Sunda yang terus diwariskan dan dihargai sebagai bagian penting dari identitas budaya Indonesia.

Share:

KAJAGAL POENYA CARITA

  


Karinding adalah alat musik tradisional yang berasal dari Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Instrumen ini terbuat dari bambu atau pelepah enau dan dimainkan dengan cara dipetik. Berikut adalah sejarah singkat karinding:

Asal Usul

Karinding telah ada sejak zaman dahulu kala dan sering digunakan oleh masyarakat Sunda. Awalnya, karinding digunakan sebagai alat untuk mengusir hama di sawah dan ladang karena suaranya yang dianggap mampu mengganggu serangga.


Fungsi dan Penggunaan

Selain fungsinya sebagai pengusir hama, karinding juga digunakan dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan. Alat musik ini sering dimainkan pada acara-acara seperti pesta pernikahan, upacara panen, dan ritual lainnya sebagai sarana hiburan dan pengiring doa.

 Penyebaran dan Populeritas

Selama bertahun-tahun, popularitas karinding sempat menurun seiring dengan masuknya alat musik modern. Namun, sejak beberapa dekade terakhir, terdapat upaya untuk menghidupkan kembali seni musik tradisional ini. Banyak komunitas seni dan musisi muda yang mulai tertarik mempelajari dan memainkan karinding, baik dalam pertunjukan tradisional maupun modern.

Karinding dalam Budaya Modern

Dalam perkembangannya, karinding kini sering dipadukan dengan alat musik modern dalam pertunjukan musik kontemporer. Banyak musisi yang mencampurkan suara unik karinding dengan genre musik lain seperti rock, pop, dan elektronik, sehingga menciptakan perpaduan yang menarik antara tradisional dan modern.


Secara keseluruhan, karinding tidak hanya merupakan alat musik, tetapi juga bagian penting dari warisan budaya Sunda yang terus dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi muda.

Share:

MOANA AI CINEMATIC MOVIE

 


Creating an AI-driven cinematic movie involves utilizing artificial intelligence throughout the production process, from scriptwriting and casting to visual effects and audience engagement. AI can assist in generating story ideas based on audience preferences, predicting box office success, enhancing CGI realism, and even optimizing marketing strategies. The result is a blend of human creativity and AI precision, aiming to captivate audiences with compelling narratives and breathtaking visuals. Moana produced by Walt Disney Animation Studios, is a vibrant cinematic masterpiece that combines traditional animation with cutting-edge technology to bring to life the Polynesian culture and mythology. The movie follows the courageous journey of Moana, a spirited young girl who sets sail on a daring mission to save her island and find her true destiny. The film's lush animation, heartfelt storytelling, and memorable music, including songs like "How Far I'll Go," have resonated deeply with audiences worldwide. "Moana" exemplifies how modern cinematic techniques can celebrate cultural diversity and create timeless stories that inspire and entertain.
Share:

IMPERIUM OF MAN CINEMATIC

 


Warhammer has a rich lore and universe that lends itself well to cinematic adaptations. Whether it's the grimdark future of Warhammer 40,000 or the epic fantasy of Warhammer Fantasy Battles (now Age of Sigmar), there are plenty of elements that could make for compelling cinematic experiences.
In terms of existing adaptations, there have been several Warhammer 40,000 animated movies and fan-made short films that capture the essence of the universe's dark and gritty atmosphere. However, a big-budget live-action adaptation could potentially bring the scale and intensity of battles, the intricate lore, and the iconic characters to life in a way that fans would truly appreciate.
For Warhammer Fantasy Battles (Age of Sigmar), a cinematic approach could explore the grand battles between armies of humans, elves, dwarfs, and various fantastical creatures against the backdrop of a world threatened by Chaos. This could appeal not only to fans of the tabletop game but also to fantasy enthusiasts in general.

Overall, a Warhammer cinematic universe has the potential to delve deep into its expansive lore, explore complex characters and factions, and showcase epic battles and the struggle between order and chaos on a grand scale.
Share: